Desa Wlahar, Kecamatan Wangon
tidak berbeda dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Berada di wilayah dataran yang agak berbukit, berada sekitar 20 kilometer (km)
arah barat Kota Purwokerto, Wlahar dikenal sebagai desa penghasil ciu, salah
satu jenis minuman beralkohol tradisional khas Banyumas. Barangkali hampir sama
dengan penghasil ciu di Solo, yakni Bekonang.
Tetapi jangan salah, saat
memasuki desa setempat, kesan sebagai desa penghasil ciu tidak tampak. Aroma
alkohol seperti berada di diskotik atau cafe sama sekali tidak tercium. Maklum,
sementara ini, industri tradisional di desa setempat tidak dilakukan secara
terbuka, tetapi sembunyi-sembunyi. Sejauh ini juga sama sekali tidak ada izin
sebagai tempat penghasil alkohol yang kadarnya bisa mencapai 40 persen hingga
50 persen.
Untuk masuk ke dapur pembuat ciu
pun tidak sembarangan orang. Sebab, mereka juga takut kalau nantinya dia
mendapat masalah. Makanya, mereka mau terbuka kalau orang yang datang
benar-benar sudah dikenalnya atau dari aparat pemerintah yang tujuannya hanya
meninjau saja.
Saat memasuki rumah seorang
penduduk, misalnya, sama sekali tidak nampak kalau rumah itu sebagai penghasil
produk ciu. Tetapi ketika masuk ke dapur, ternyata ada pemandangan lain yang
tidak biasanya. Ada alat penyulingan seperti membuat minyak atsiri. Alat
penyulingan itulah yang digunakan untuk membuat ciu.
Untuk membuat ciu, Penduduk
desa menuangkan cairan yang terdiri dari
campuran gula kelapa, tape singkong, dan ‘laru’. Dengan tangan yang sudah
terlihat mengeriput itu, dia memasukkan ke dalam panci di atas perapian yang
dibakar dengan kayu. Cairan yang dituangkan tersebut volumenya sekitar lima
liter. Setelah itu, ditutupnya panci tersebut. Di tengah tutupnya telah dibuat
lubang yang ada semacam pipa dari bambu yang disalurkan melalui air dingin.
Pada ujung bambu, ditempatkan gelas uikuran besar untuk menampung cairan
tersebut. Kalau dicium, hmmmm....bau alkohol sudah sangat terasa. Itulah ciu
hasil kerajinan tradisional warga Wlahar yang telah turun-temurun digelutinya.
Sudah puluhan tahun, Penduduk
desa Wlahar menggeluti profesi sebagai perajin ciu tradisional. Bahkan,
katanya, sudah jaman kakeknya dulu pun menjadi perajin tersebut dan telah
memulainya sejak zaman penjajahan Belanda. “Umur kerajinan ciu di sini, lebih
tua dibandingkan dengan usia saya sekarang,”kata lelaki yang masih terlihat
gesit tersebut.
Baginya, meski sembunyi-sembunyi,
hasil kerajinan itulah yang nyata-nyata memberikan penghasilan. Ciu hasil dari
Desa Wlahar masih tetap diminati oleh pembeli, meski dia mengaku tidak tahu
pembeli yang datang ke tempatnya menjual ke mana. “Biasanya pembeli yang datang
ke sini sudah saling kenal. Begitu datang, langsung masuk dan tidak berapa lama
pergi lagi. Yang penting tidak diminum di sini, itu syarat utamanya. Jangan
sampai kami juga kena masalah,”katanya sambil terus memroses pembuatan ciu.
Dalam sehari, dia mampu membuat ciu sebanyak 30-40
liter dengan kadar alkohol sekitar 40-50 persen. Makanya tidak heran, jika mengecap
saja, di mulut langsung terasa panas. Untuk membuatnya, tiap harinya Penduduk
desa membutuhkan bahan-bahan gula merah
dan tape singkong yang tidak terlalu sulit diperolehnya. Pembelinya tidak hanya
berasal dari Banyumas, melainkan juga dari Wonosobo dan Cilacap. Dengan
menggeluti pembuatan ciu tersebut, dia mendapatkan hasil Rp400 ribu per hari.
Sebuah hasil yang sangat menggiurkan bagi warga desa.
0 Komentar untuk "Ciu khas Banyumas"